Jauh sebelum masa piramid sekitar 30.000 tahun sebelum masehi di
wilayah nusantara terdapat sebuah peradaban yang kelak akan menjadi
cikal bakal konsep negara di seluruh dunia. Namun hal perlu dicatat di
sini adalah bahwa segala uraian dibawah ini masih perlu kajian yang
lebih dalam lagi.
Catatan : Wilayah Indonesia tidak
pernah terkena Zaman Es dan berada di titik lintasan Gunung Berapi dan
berada di wilayah lintasan Matahari ( khatulistiwa ) sehingga sangat
mungkin untuk mengembangkan peradaban maju dalam kurun 30.0000 – 12.0000
tahun SM
Sebuah tempat yang dahulu bernama Buana Ataan atau Buana Atalan ( versi Plato, kata Atalan inilah yang mungkin di yakini sebagai Atalantis/ Atlantis ) yang sekarang bernama Banten ( Bu – Ataan /Bu – Ateun / Bu – an – teun )
telah ada sebuah peradaban tinggi yang memiliki ajaran Sundayana ( Sun =
Matahari, Yana = Ajaran ) yang dahulu bersumber dan di tetapkan di
Tanah Su – Mate –Ra tepatnya di Tanah Mandala Hyang ( Mandailing ) di daerah di Sumatera Utara yang masyarakatnya disebut sebagai Batakara ( Batak Karo ).
Masyarakat yang berkiblat pada matahari yang di wujudkan dalam konsep
“Su = Api, Ra = Matahari “ yang ajarannya bernama Surayana. Mereka
memiliki Gunung Suci yaitu Gunung Batara Guru ( Gunung Toba ) . Batara
Guru ( Bata – Ra ) Guru = yang mengajarkan tentang “ Ra “. Dengan Dewa
Batara Durga ( Batara Surya ).
Ajaran Surayana ini
berkembang seiring dengan perubahan geologis pulau Sumatera akibat
letusan Gunung Toba ( 70.000 SM ) dan ajaran tersebut mulai dikembang
lagi di Tanah Sunda dengan gunung karakatwa ( Gunung Kara – Katwa /
karakatwa / krakatau ) dengan nama Sundayana ( Sura berganti dengan
Sunda ) oleh karena itu Plato menyebut daerah Gunung Krakatau berada
sebagai Sundhalan atau Paparan Sundha yang terletak di wilayah Buana
Atalan. Namun intinya ajaran “ Ra “ tetap tidak berubah sehingga Plato
menyebutnya sebagai orang – orang Sunda artinya Orang – orang pengikut
ajaran Sundayana dan kata Sundayana ini oleh bangsa barat disebut “
Sunday “ yang mataharinya disebut “ Sun “. Namun kata Sunda memiliki
kaitan erat dengan matahari itu sendiri ( Sunda/ Sunada/ Su = Sejati, Na
= Api, Da = Gede/ Besar / Agung atau dengan kata lain Api Sejati Yang
Agung yaitu Matahari )
Pada masa keemasan Sundha inilah katakan
era keemasan Dirganta-Ra ( Dirga = Durga = Surya = Su = Api, Ra =
Matahari ) atau zaman Dirgantara yaitu sebuah era yang menjadikan api
sebagai sumber kehidupan ( Dirgantara = Wilayah Api Kehidupan Yang
Bercahaya ). Dengan demikian kala itu (30.000 – 12.000 SM ) bangsa
Sundha telah mampu memanfaatkan api untuk berbagai keperluan hidup dan
membangun peradaban tinggi.
Setelah Gunung Krakatau
meletus dan diikuti oleh perubahan iklim yang ekstrim sehingga berakibat
terputusnya Sumatera dan Jawa yang menjadi penanda berakhirnya Zaman Es
terakhir. Tenggelamnya Paparan Sunda dan menjadikan wilayah Indonesia
tertutup oleh lautan. Keadaan tersebut akhirnya membuat peradaban Sundha
bergeser ke tempat yang disebut Lembah Hyang ( Hyang = Dewa )
yang sekarang dinamakan Lembang dengan Gunungnya yang disebut Tangkuban
Parahu ( Tangkuban = Naungan. Pa = Tempat, Ra =Matahari, Hu / Huang/
Hyang = Leluhur). Terkadang daerah ini juga disebut Tatar Parahyangan (
Pa = Tempat, Ra = Matahari, Hyang = Leluhur atau tempat leluhur bangsa
matahari . Di tanah yang sekarang kita kenal sebagai Jawa Barat inilah
konsep cikal bakal sistem kenegaraan pertama dimuka bumi berawal.
Dengan konsep “ Salaka Domas “ dan “ Salaka Nagara “ . Era munculnya
konsep tentang negara dinamai sebagai zaman Swargantara ( Swarga =
Kemandirian, Wilayah Kehidupan Mandiri yang bercahaya ) Konsep
Swargantara inilah yang mengharuskan bahwa sebuah negara haruslah
mandiri dan berdaulat sehingga tidak tergantung dengan bangsa asing.
Sistem
kenegaraan tersebut berupa sistem keratuan/ Keratoan/ Keraton dimana
makna Ratu tidak sama dengan Queen tapi setara dengan Rajya ( Raja dalam
bahasa India ). Pada awal berdirinya keratuan ini dipimpin oleh Sang
Hyang Watu Gunung Ratu Agung Manik Maya dan diteruskan oleh Maha Ratu
Resi Prabu Sindhu La – Hyang ( Bapak dari Da – Hyang Su – Umbi = Dayang
Sumbi ) dan kelak akan diteruskan oleh Dinasti Warman ( Mulawarman ) dan
Prabu Tarumanagara dan Da – Hyang Su – Umbi ( Da = Agung, Hyang =
Leluhur, Su = Api, Umbi = Penuntun ). Di zaman Swargantara inilah Konsep
Kujang muncul sebagai sebuah Simbol Api.
Ajaran Sundayana
ini berkembang ke seluruh dunia di era Prabu Sindhu La – Hyang. Oleh
orang – orang Jepang Prabu Sindhu dikenal dengan sebutan Shinto yang
cikal bakal ajaran Matahari ditetapkan di Su – Mate – Ra . Sedang di
Jepang kata Su – Mate – Ra menjadi A – Mate – Ra – Su yang berarti Dewa
Matahari. Di Cina konsep ajaran dari Prabu Sindhu La – Hyang dikenal
sebagai ajaran La – Hyang yang oleh orang – orang Cina disebut ajaran Li
– Hong atau Liong ( Naga dan Ra ). Ajaran Matahari Prabu Sindhu juga
menyebar hingga ke India yang saat itu bernama Jambudwipa dan dikenal
dengan nama ajaran Sindhu yang kelak menjadi ajaran Hindu di Tanah
India. Selain itu ajaran Matahari Prabu Sindhu juga menyebar di Mesir
yang dikenal dengan ajaran Ra = Matahari dengan Dewa yang bernama Dewa
Ra = Dewa Matahari.
Konsep Ajaran Matahari Sundayana /
Surayana adalah konsep ajaran Budhi Pekerti dan Ketata – Negaraan yang
kelak menjadi cikal bakal agama – agama kuno dan konsep kerajaan di
seluruh peradaban kuno di dunia.
Meletusnya Gunung
Tangkuban Perahu membuat pusat pemerintahan Sundha beralih ke Gunung
Brahma ( Bromo = Api ) dengan dua gerbang besar Gunung Sindoro ( Sunda –
Ra ) dan Gunung Sumbing ( Su – Umbi – Hyang ) dengan pelatarannya
terletak di Dieng ( Da – Hyang ) dan Gunung Semeru ( Su – Meru ) sebagai
pusat kerajaan Sundha. Di zaman inilah era keemasan ajaran Shindu –
Sundhayana mencapai masa keemasan dengan konsep Salaka Domas dan Salaka
Nagaranya. Era ini dikenal sebagai zaman Dwipantara. ( Dwipantara =
Wilayah Kehidupan Cahaya Kembar ). Konsep Dwipantara atau Cahaya Kembar
inilah yang diterjemahkan dalam ajaran Salaka Domas dan Salaka Nagara.
Konsep
Salaka Domas dan Salaka Nagara merupakan sebuah konsep dwi – tunggal
yang tak terpisahkan. Salaka Domas yang berarti Konsep Api simbol dari
Matahari sebagai api sejati yang merupakan perwujudan dari Batara Durga /
Batara Surya. Matahari sebagai api sejati yang senantiasa memberi
cahaya bagi semua makhluk bumi. Konsep memberi tanpa berharap kembali
adalah inti konsep Salaka Domas. Kemudian Konsep Salaka Nagara yang
berarti konsep Air simbol dari Samudera sebagai air sejati merupakan
perwujudan dari Dewa Air / Naga yang melingkupi air pemberi kesuburan
dan kehidupan bagi makhluk bumi. Konsep air merupakan konsep penerimaan
atau simbol kepasrahan yang juga simbol kerendahan hati dan merupakan
inti konsep Salaka Nagara.
Konsep Salaka Nagara ( Naga =
Air, Ra = Matahari ) yang mengandung arti air dan matahari, sebuah
simbol kekuatan yang dahsyat bila menguasainya. Dengan demikian melalui
kedua konsep ( Salaka Domas dan Salaka Nagara ) dimulailah era maritim.
DI masa Dwipantara inilah muncul istilah Dwiwaruna ( Dwi = Dua, Waruna =
Lautan ) yang merujuk pada Samudera Hindia dan Samudera Pasifik.
Kemudian konsep matahari dan air juga dilambangkan dengan simbol warna
merah = matahari dan simbol warna putih = air. Konsep inilah yang
dikenal dengan konsep Dwi Varna ( Merah – Putih, Matahari – Air, Ra –
Naga atau Naga – Ra / Negara ). Konsep kenegaraan bagi masyarakat
peradaban Sundha kala itu bukan sekedar negara atau country yang kita
kenal sekarang tapi lebih jauh lagi adalah merupakan konsep tentang
keselarasan hidup antara manusia dengan alam, manusia dengan manusia,
dan manusia dengan Tuhan. Pada era Dwipantara inilah keris mulai muncul
sebagai simbol dari air yang juga melambangkan naga. Sehingga Kujang
sebagai simbol api dan Keris sebagai simbol air kala itu bersanding
sebagai lambang dari Keratuan Sundhayana dan kala itu juga pengembangan
teknologi penjelajahan samudera dimulai.
Meletusnya Gunung
Bromo membuat peradaban Sundha bergeser ke Gunung Agung di Bali, itulah
sebabnya Pulau Jawa disebut sebagai Sunda Besar dan Bali disebut
sebagai Sunda Kecil pada peta nusantara tua. Pada masa ini ajaran
Sundhayana semakin berkembang pesat dan dikenal dengan kata Udayana (
Sundayana ).
Peradaban Sundha berakhir dengan
ditetapkannya Gunung Tambora ( Tambo –Ra ) di Pulau Sumbawa ( Su – Ma –
Bawa / Su – Bawa ) sebagai keratuan terakhir peradaban Sundhayana yang
dipimpin oleh Maha Resi Prabhu Tarus Bawa. Dengan berakhirnya peradaban
Sundhayana maka berakhir pula era Swargantara dan beralih ke era
Nusantara. Perlu diketahui bahwa era Swargantara disebut sebagai era
Banjaran Nagara atau mulai berkembangnya kerajaan – kerajaan kecil yang
kelak akan menjadi kerajaan besar nan melegenda.
Berakhirnya
era Swargantara dan memasuki era Nusantara ( Nusantara = Wilayah
Kehidupan Manusa Cahaya ) artinya Manusa = Manusia yang bercahaya.
Manusia yang mengibarkan simbol – simbol Ra atau Matahari. Panji –
Panji Matahari atau Panji – Panji Ra ( Bende – Ra ) sebagai lambang
Nagara yang disimbolkan dengan Bendera Merah Putih ( Bende = Panji = ,
Ra = Matahari, Merah = Simbol Api, Putih = Simbol Air ). Di era inilah
Keris yang merupakan simbol air lebih sering digunakan daripada Kujang.
Keturunan Prabu Sindhu menyebar dan membangun kerajaan dan dinasti di
berbagai pulau di Nusantara. Di antaranya Dinasti Warman ( Mulawarman )
yang mendirikan Kerajaan Kutai di Kalimantan dan Tarumanagara di Jawa
Barat. Kemudian silih berganti muncul Kerajaan – Kerajaan besar seperti
Sriwijaya, Pajajaran, Singosari, Majapahit dsb. Di era Nusantara inilah
pengaruh asing seperti Hindu, Budha dan Islam mulai masuk dan memang
kala itu wilayah Nusantara merupakan wilayah perdagangan laut yang telah
berkembang pesat sejak masa sebelum Nusantara.
Setelah
kedatangan Bangsa barat ke Wilayah Nusantara dan membawa perubahan yang
sangat besar bagi kehidupan masyarakat di Nusantara terutama sendi –
sendi kehidupan bermasyarakat yang mendapat pengaruh paham modernisme
barat. Era kedatangan bangsa eropa menjadi penanda akhir era Nusantara
dan dimulailah era Indonesia.
Era Indonesia diawali dengan
berbagai perubahan mendasar dengan mulai runtuhnya berbagai Kerajaan –
kerajaan di Nusantara. Perkembangan paham ketata – negaraan modern versi
barat pun turut mempengaruhi konsep ketata – negaraan Indoensia. Pada
tanggal 17 Agustus 1945 merupakan penanda berdirinya negara baru yaitu
Indonesia dengan konsep Republik ( Re – Publik ) yaitu direbutnya
kekuasaan raja oleh rakyat sehingga kedaulatan suatu negara berada
ditangan rakyat. Kata rakyat ( Ra – Hayat / Ra = Matahari, Hayat = Hidup
) artinya matahari yang hidup, yakni masyarakat Indonesia yang
merupakan keturunan dari pendiri peradaban Sundhayana yang telah
mewarisi ajaran Matahari dalam hati masing – masing orang Indonesia.
Banyak
hal yang masih harus di kaji lebih dalam lagi namun sejarah mengenai
kehidupan masyarakat primitif di Indonesia memang perlu di kaji ulang
mengingat uraian tersebut di atas. Bahwa masyarakat yang ada di
Indonesia sudah sangat maju dalam berbagai hal. Terbukti dengan adanya
konsep – konsep kenegaraan dan ajaran agama dimana kemunculan konsepsi
ini menandakan bahwa masyarakat Indoensia di masa 30.000 tahun SM
bukanlah masyarakat primitif yang tinggal di gua – gua dan hidup berburu
serta mengumpulkan makanan tetapi masyarakat yang mampu mengembangkan
peradaban yang juga mampu mengubah peradaban lain di dunia.
Beberapa
Fakta temuan arkeologi mengenai Situs Gunung Padang di Cianjur Jawa
Barat yang merupakan temuan mutakhir saat ini memperkirakan adanya
bangunan piramid yang tertimbun di dalam Gunung Padang. Dan bila
terbukti benar maka ini adalah piramid yang sangat besar melebihi pramid
Giza di Mesir. Adapun usianya jauh lebih tua dari Piramid yang ada di
Mesir yakni 6000 tahun SM. Pada masa itu di wilayah Jawa Barat sudah ada
peradaban yang sanggup membangun bangunan megah melampui era
megalitikum kala itu. Bila di bandingkan dengan Mesir yang baru memulai
peradaban sekitar 4000 tahun SM, peradaban di Jawa Barat ini sudah
memulai terlebih dahulu.
Pertanyaannya adalah seberapa
besar dan digdayanya bangsa kita saat itu ? apakah kita masih perlu
meyakini sejarah yang mengatakan bahwa bangsa Indoensia kala itu adalah
primitif, tinggal di gua dan hidup dengan berburu serta belum mengenal
tulisan kemudian datang pengaruh Hindu dan Budha kemudian bangsa kita
baru bisa beradab ?
Berbagai Konsep, Ajaran dan Simbol
merupakan suatu hal yang tidak mudah diciptakan dalam waktu singkat.
Manusia harus melalui berbagai tahapan dan proses penghayatan sehingga
intisari tersebut dapat tertuang secara sistematis dalam bentuk simbol
dan tulisan. Mungkinkah hal tersebut bisa dilakukan kalau saat itu
bangsa kita masih primitif ?
Tulisan ini sekedar memberi
perspektif lain tentang sejarah alternatif yang mungkin bisa sedikit
mengangkat derajat bangsa yang kini terkenal dengan bangsa terkorup
nomor 1 dunia.
Di bali kata hindu baru dikenal tahun 1958..Sebenarnya apa yg dilakukan di bali cakupannya jauh lebih luas dari AGAMA (the way)..orang Bali mengenal BANTEN (sesajen) lebih mengarah ke aliran TANT-RA ..Dan praktek yg dilakukan adalah NIGAMA,SUNDARIGAMA dan AGAMA..Coba klik blog dibawah ini : https://parokshaghanadirghantara.wordpress.com/2014/08/22/budaya-bali-dan-dwipantara-tidak-sama-dengan-peradaban-veda-india/
ReplyDeleteThanks info dan inputnya, ini bisa di jadikan bahan utk menolak anggapan tentang pengaruh hindu india dan mitos aji saka di nusantara yg masih menjadi tanda tanya tentang bagaimana mungkin hindu india mampu dg drastis mengubah peradaban nusantara secepat itu ?
ReplyDeleteTidak usah ditolak. Tidak apa2. Kita jg tidak tahu apa kita ini asli keturunan penghuni nusantara di 30rb tahun lalu atau keturunan pendatang yg mungkin baru datang di abad masehi.
DeleteLihat budaya kita, islam datang diterima, jepang datang dianggap saudara tua. Kita ini gampang sekali menerima budaya baru.
Saya sokong kenyataan pak aryo tohjoyo
ReplyDeleteSaya sokong kenyataan pak aryo tohjoyo
ReplyDeleteSaya sokong kenyataan pak aryo tohjoyo
ReplyDeleteyang dimaksud Parahyangan bukanlah Gunung Tangkubanperahu dan sekitarnya, lebih tepat Parahayangan atau "tempat Dewa-Dewa Turun Ke bumi" adalah di antara Gunung Gede dan Pangrango. Demikian, penghormatan terhadap leluhur yang dilakukan oleh orang-orang Pajajaran (penerus Salaka Nagara) selalu menghadapkan sembahannya ke arah gunung Gede dan menjadikan kawasan Gunung Gede Pangrango sebagai kawasan leluhur (Bukan Gunung Salak). Demikian ketika ditemukan situs Gunung Padang berbentuk Piramid menunjukkan adanya hubungan antara perubahan kepercayaan dari satu Tuhan (Matahari) menjadi Tiga tuhan (Tripitaka). Oleh Karena kepercayaan penduduk pada jaman itu menjadikan Piramid sebagai tempat pemujaan kepada Benda Alam yang terkuat yaitu Matahari, yang demikian disebut juga "Para Penyembah Matahari" sama seperti para pemuja di Mesir era Pyramid penyembah "Ra" tuhan "matahari
ReplyDeleteMaaf pak, Tripitaka itu bukan Tiga tuhan, Tripitaka itu nama kitab agama Buddha, yang arti harfiahnya tiga keranjang. Kitab ini merupakan kumpulan dari banyak kitab dan sabda atau petuah Sang Buddha. Kalau yang bapak maksud itu Tiga Tuhan atau istilahnya tiga dewa sebagai manifestasi Tuhan dalam agama Hindu disebut Tri Murti yang arti harfiahnya berarti Tiga bentuk atau tiga wujud
DeleteDemikan, terima kasih
banyak memaksakan istilah, tapi menyesatkan
ReplyDeleteOrang Sunda itu ahli dalam utak atik kata. Ada istilahnya yaitu "kirata, dikira-kira tapi nyata. Contohnya kata kursi, di sunda itu korsi, di-kirata-an jadi cokor di sisi, ya artinya kaki-kaki di bagian sisi. Lalu kata dokter, disamakan saja jadi doktor, yaitu tukang ngodok kokotor (ngambil penyakit). Jadi di sunda itu segala kata, istilah bisa diutak atik sehingga sesuai dgn makna fungsinya. Padahal misalnya kata kursi itu asalnya dari bahasa arab. Tapi tentu saja oleh teman2 kita bisa dibalik bahwa arab jg dari sunda asalnya.
DeleteSeperti kata Ra itu ya dari mesir. Tapi jadi dibalik, seolah itu dari sunda lalu menyebar ke mesir.
Teman2 kita sy anggap dalam usaha untuk membuat besar sejarah nusantara atau sunda ini masih berdasarkan pada utak atik bahasa semata dan disambungkan dgn berbagai trend sejarah seperti atlantis.
thanks informasinya pak....
ReplyDeleteSaudara Berorientasi Lingkungan, memang data yang saya miliki belum kuat dan akurat namun setidaknya melalui tulisan saya yang sangat tidak sempurna niatan saya tulus untuk mengungkapkan fakta bahwa sejarah yang dulu saya terima di sekolah adalah sebuah sejarah yang di drive oleh ilmuwan barat untuk menutupi kebesaran nusantara dan memang terlihat cenderung mengecilkan nusantara itu sendiri, kalau memang banyak data yang keliru saya mohon maaf karena memang saya bukan ahli sejarah, saya cuma karyawan swasta biasa yang mencoba menyempatkan diri untuk belajar menulis berbagai hal sebagai wadah ekpresi saya dan menjadi interest saya juga passion saya mengenai hal ikhwal sejarah nenek moyang saya sendiri agar saya paham akar budaya saya sendiri.....
ReplyDeleteMenarik. Sejarah kita menarik untuk ditelusuri. Pikiran pak Aryo perlu mendapat apreasiasi dr pakar2 sejarah.
ReplyDeleteLanjutkan!!! Semoga data pendukung otentik dapat menjadi rujukan dan bahwa besarnya peradaban Nusantara
ReplyDeleteApakah benar ini hasil tulisan pak Aryo?.. sebab sy pernah baca tulisan yg sama dgn ini...
ReplyDeleteMemang tidak, karena ini saya ambil dari beragam sumber, saya di sini cuma latihan membuat blog saat itu, tentunya sekedar ngisi waktu luang dan sebagai bahan latihan tentu nya saya pilih topik yang saya suka, lagian ngapain kalau untuk latihan hrs cari topik yang nggak saya suka
DeleteLanjutkan semoga cepat terungkap kebenaran akan Nusantara,
ReplyDelete