Tuesday, May 20, 2014

KONSEPSI MANUSIA BENUA DAN MANUSIA KEPULAUAN SERTA PENGARUHNYA TERHADAP PEMBENTUKAN KARAKTER SEBUAH BANGSA

Sejenak kalau kita mengamati gugusan pulau – pulau di Indonesia maka kita akan melihat pulau – pulau baik kecil dan besar bertebaran. Banyak orang –orang Eropa berpikiran mengapa Pulau – pulau yang ada di wilayah Indonesia dengan keragaman budaya yang ada ditiap pulaunya tidak menjadi sebuah negara yang berdiri sendiri ?
Pertanyaan orang – orang Eropa itu mungkin akan terdengar aneh di telinga kita sebagai orang Indonesia namun pernahkah kita sadari kenapa Pulau – pulau di Nusanatara ini bisa bersatu dan menjadi sebuah negara bernama Indonesia? Apakah hanya karena sama – sama di jajah oleh Belanda?
Hal tersebut sangat erat kaitannya dengan Konsepsi manusia benua dan manusia kepulauan. Perbedaan konsepsi antara manusia benua dan manusia kepulauanlah yang kelak akan sedikit banyak membentuk karakter dasar bagi banyak ras di dunia.
Apa itu manusia benua ?
Leluhur manusia yaitu homo sapiens sudah sejak lama mendiami bumi ini sejak 500.000 tahun yang lalu. Mereka bermigrasi dan beradaptasi dengan lingkungan sekitar mereka dan lambat laun berevolusi baik karakter, bentuk fisik dan budaya.
Selama ratusan ribu tahun manusia secara bertahap namun pasti bermigrasi keberbagai tempat diseluruh dunia. Meraka hidup berpindah – pindah dan berjalan ribuan kilometer mencari tempat untuk bernaung. Lambat laun mereka mulai mengenal bercocok tanam dan akhirnya mendirikan sebuah pemukiman. Manusia mulai mengembangkan pertanian dan peternakan serta akhirnya terciptalah struktur dan organisasi masyarakat.  Dengan adanya konsep pemukiman maka kehidupan menjadi lebih terorganisir dan menjadi lebih stabil.
Dampak dari munculnya konsep pemukiman adalah perkembangan populasi manusia dan inilah yang mengakibatkan munculnya permasalahan pemenuhan kebutuhan hidup komunitas dalam sebuah pemukiman. Manusia mulai mempeluas lahan pertanian dan peternakan dan konsekuensinya adalah manusia pun harus memperluas wilayah pemukimannya seiring dengan bertambahnya populasi dan kebutuhan akan lahan pertanian dan peternakan.
Perluasan lahan untuk mempertahankan keberadaan suatu komunitas menjadi suatu keharusan sebagai naluri bertahan hidup. Sebagai konsekuensi dari perluasan tersebut adalah manusia pun juag harus mulai berpikir untuk mempertahankan wilayahnya. Manusia mulai membangun teritorial dan batas wilayah. Manusia mulai menyadari bahwa diri mereka dikelilingi berbagai ancaman yang akan berpengaruh terhadap eksistensi mereka seperti binatang buas, bencana alam dan manusia dari luar komunitas.
Mulai dari membuat pagar hingga membangun benteng pun dilakukan manusia. Manusia pun mulai belajar untuk mempertahankan dirinya dengan menciptakan berbagai alat yang juga dapat melindungi diri mereka dari berbagai bahaya yang akan mengancam keselamatan mereka. Kondisi inilah yang akhirnya membentuk karakter manusia yang agresif dan survival. Manusia mulai berusaha untuk menjaga semua sumber daya alam yang mereka miliki sebagai sebuah cara untuk bertahan hidup. Namun keberadaan sumber daya alam yang semakin menipis dan ditambah populasi yang kian bertambah maka memicu manusia untuk mencari sumber daya alam baru kewilayah yang jauh dari teritorialnya. Dan inilah yang pada akhirnyamembuat manusia  dengan manusia lain yang berbeda teritorial mulai berinteraksi dan manusia pun mulai melakukan pertukaran atau barter. Namun terkadang konsep pertukaran tidak selamanya berjalan dengan baik, keterdesakan atas pemenuhan kebutuhan hidup juga memancing agresifitas manusia sehingga manusia melakukan ekspansi besar – besaran yang kerap harus menimbulkan konflik dengan komunitas lain. Ada yang berusaha mempertahankan dan ada yang berusaha mengambil dan begitu seterusnya.
Sejarah membuktikan dari benua Afrika, Eropa, Amerika dan Asia senantiasa dihiasi dengan perang dan perluasan kekuasaan. Inilah karakter dasar bangsa – bangsa yang dihuni oleh manusia – manusia benua. Konsep motherland yang dibentuk oleh manusia benua menjadikan tanah yang mereka pijak menjadi hal yang paling berharga dan akan selalu dipertahankan. Konsep motherland inilah yang mendasari pembentukan koloni – koloni manusia, manusia hidup dalam lingkaran koloni dan mempertahankan koloni mereka. Maka tidaklah mengherankan bila kita melihat mengapa di Benua Eropa yang sama – sama berasal dari ras kaukasoid terkotak – kotakan dalam bingkai negara – negara berbeda. Demikian di Afrika yang merupakan ras negroid pun terkotakan dalam berbagai negara. Negeri – negeri yang berperang demi sumber daya alam seperti air, makanan dan energi adalah imbas dari konsepsi motherland milik manusia benua. Sikap feodalistik, agresif dan survival menjadi cerminan dari pola pikir manusia benua.
Mungkin kita bisa mengambil contoh diwilayah timur tengah yang merupakan tempat tumbuh, berkembang dan jatuh bangunnya banyak peradaban kuno seperti Mesopotamia, Persia, Sumeria dan Babilonia. Wilayah timur tengah yang sangat panas dan dikelilingi padang pasir dengan keterbatasan sumber daya air menjadikan wilayah tersebut maka perebutan akan sumber daya air tersebut adalah hal yang tidak akan dapat dihindakan dan inilah merupakan konsekuensi dari paham motherland milik manusia benua.
Konsepsi motherland dari manusia benua inilah yang di era modern mengilhami konsep Lebensraum yang menyamakan bahwa negara adalah sebuah organisme hidup yang membutuhkan ruang hidup untuk berkembang dan bertahan hidup. Alhasil berbagai peperangan yang mengakibatkan kehancuran suatu peradaban semua adalah akibat dari konsep motherland dari manusia – manusia benua.
Lantas bagaimanakah dengan Konsepsi Manusia Kepulauan ?
Dalam kurun waktu ratusan ribu tahun beberapa kelompok homo sapien bermigrasi dan mulai menyeberangi deerah – deerah perairan. Kelompok homo sapien ini mulai mengembangkan berbagai alat untuk mengarungi daerah perairan. Pada awalnya mereka hanya membuat peralatan yang membantu mereka mengarungi sungai dan rawa namun lambat laun mereka mulai mengembangkan berbagai alat untuk membantu mereka mengarungi lautan. Mereka mulai melakukan penjelahan dari pulau satu ke pulau yang lain. Mereka menetap dan membangun komunitas disebuah pulau kemudian sebagian yang lain meneruskan penjelajahan mencari pulau yang lain dan begitu seterusnya. Mereka hidup dari laut dan sebagian besar hidup mereka dihabiskan dilaut. Laut yang luas membuat mereka tidak perlu saling berebut untuk mendapatkan hasil laut, manusia – manusia pelaut ini mampu mengarungi luasnya samudera sehingga mereka tidak pernah merasa kekurangan. Tantangan di laut sangat berbeda dengan di darat, manusia – manusia pelaut ini paham betul akan bahaya yang akan mereka hadapi bila laut sedang tidak bersahabat dengan mereka. Mereka pun harus mencari pulau untuk berlabuh sejenak menunggu hingga badai berlalu. Keadaan alam seperti inilah yang membuat mereka harus mengembangkan sikap sopan dan menghormati manusia lain di pulau tersebut. Mereka paham bahwa mereka harus menjaga sikap saat mendatangi sebuah pulau karena hal tersebut sangatlah penting agar mereka bisa diizinkan untuk menetap sementara waktu. Adab – adab seperti ini menjadi hal yang berlaku umum bagi masyarakat pelaut kala itu. Selain menetap terkadang mereka juga menjalin hubungan kekerabatan melalui pernikahan dan perdagangan. Di lain pihak masyarakat kepulauan pun juga berusaha mengembangkan pemukiman mereka untuk disinggahi para pelaut dari pulau yang lain karena mereka sangat tergantung dengan barang dagangan yang dibawa oleh pelaut dari pulau lain. Dengan demikian sikap terbuka dan ramah menjadi karakter dasar manusia kepulauan. Laut membuat mereka tidak mengkotakan diri mereka karena laut sangat luas dan seolah tak berbatas. Dengan membangun hubungan antar pulau yang harmonis maka mereka pun merasakan sebuah interaksi tanpa batas sekat dan cenderung sangat cair.
Tidak banyak contoh peradaban manusia kepulauan di dunia ini namun nusantara tercinta kita adalah salah satu contoh nyata.
Zaman es terakhir memicu peningkatan permukaan laut yang sangat drastis. Tergenangnya paparan sunda dan paparan sahul menjadikan kawasan nusantara terpisah menjadi gugusan pulau yang kita kenal sekarang. Namun terpisahnya mereka dengan kerabat mereka yang kini jauh diseberang lautan tidak menyurutkan keinginan mereka untuk tetap mengunjungi kerabat mereka yang kini sudah terpisah oleh laut. Melalui kemampuan bahari yang luar biasa nenek moyang kita mengembangkan sebuah jaringan antar pulau. Inilah yang sekarang disebut istilah laut yang menyatukan dan bukan laut yang memisahkan. Daratan yang kini telah tenggelam dan daratan yang kini muncul akibat perubahan permukaan bumi, memunculkan istilah Tanah – Air, istilah ini sangat berbeda dengan istilah Motherland, Istilah Tanah – Air merupakan istilah asli dari masyarakat kepulauan di nusantara. Masyarakat nusantara tidak pernah mengenal istilah Motherland dan membangun koloni, masyarakat nusantara adalah masyarakat pesisir dan bahari yang sebagian besar hidupnya di habiskan di samudera tanpa batas.
Kedatangan masyarakat manusia benua ke wilayah kepulauan nusantara seperti China, India, Eropa, Arab dan lain – lain yang memiliki paham dan konsep manusia benua telah mengubah banyak sendi – sendi konsep manusia kepulauan. Pengaruh – pengaruh tersebut yang membawa nusantara memasuki masa feodal ala manusia benua. Kehidupan yang berdasarkan aturan budaya  masyarakat manusia benua meresap jauh ke dalam diri sanubari masyarakat kepulauan dalam kurun waktu ratusan tahun lambat laun sifat manusia kepulauan di nusantara pun berubah menjadi seperti sifat manusia benua. Ironis sekali bahwa pada kenyataannya kemajuan peradaban dan munculnya berbagai kerajaan besar di nusantara akibat pengaruh budaya masyarakat benua ternyata juga memunculkan sifat feodal, agresif dan survival yang notabene adalah karakter dari manusia – manusia benua. Maka tidaklah mengherankan kalau sejak zaman dahulu kerajaan – kerajaan besar selalu berperang padahal mereka adalah satu nenek moyang yang memiliki tradisi manusia kepulauan yang terbuka, ramah dan sopan dan cenderung menghindari konflik serta jauh dari kesan agresif. Pengaruh dari paham manusia benua terus berlanjut hingga kini, sisa penjajahan Belanda yang juga merupakan hasil dari konsep manusia benua masih membekas pada diri sanubari bangsa yang mendiami gugusan pulau – pulau di nusantara.
Bila kita kembali memahami akar kita sebagai manusia bahari dan manusia kepulauan tentunya hal –hal anarkis tidak akan terjadi di negeri yang tercinta ini karena pada dasarnya itu bukan karakter asli bangsa Indonesia. Itu adalah dogma yang dibawa oleh manusia –manusia benua dari luar gugusan pulau nusantara ini. Mereka para manusia benua telah menjadikan kita mengikuti prilaku yang juga mereka lakukan di tanah leluhur mereka yang mereka sebut motherland itu. Jiwa – jiwa ekspansionis, perusak dan feodal telah ditularkan kepada kita dalam kurun ratusan tahun lamanya.
Namun sangat disayangkan bahwasanya generasi penerus bangsa ini tidak pernah tahu seperti apa nenek moyang mereka. Saat masa jaya swargantara yang jauh sebelum adanya nusantara tidak ada beda antara busana raja dan busana rakyat, sang raja juga ikut menggarap sawah bersama rakyat, tidak ada benteng yang tinggi, tidak ada tembok pembatas yang dibangun, itulah ajaran dari Prabu Sindhu, seorang raja yang menurunkan seluruh raja di nusantara. Seorang raja yang membangun karakter bangsa nusantara pada 13.000 SM untuk menghargai sesama dan setelah masa Swargantara berakhir karena naiknya air laut dan memisahkan pulau – pulau di Nusantara. Sikap menghargai itu diteruskan oleh masyarakat di nusantara untuk membangun jaringan antar pulau.
Masyarakat kepulauan lebih terbuka menerima hal baru daripada masyarakat benua yang cenderung tertutup. Masyarakat kepulauan lebih menghindari konflik daripada masyarakat benua yang cenderung agresif.
Demikianlah bahwasanya kita yang kini bernama orang Indonesia yang mendiami gugusan pulau – pulau di wilayah nusantara sesungguhnya bukanlah bangsa yang anarkis dan menyukai konflik. Pengaruh negatif dari paham manusia benua lah yang membuat bangsa ini mengenal istilah “ perang” karena perang adalah hal yang lumrah dan biasa dilakukan oleh manusia benua di tanah leluhur mereka dan bukan di tanah – air kita.
Aryo Tohjoyo ( Dari berbagai sumber )

No comments:

Post a Comment