Sejenak kalau kita mengamati gugusan pulau – pulau di Indonesia maka
kita akan melihat pulau – pulau baik kecil dan besar bertebaran. Banyak
orang –orang Eropa berpikiran mengapa Pulau – pulau yang ada di wilayah
Indonesia dengan keragaman budaya yang ada ditiap pulaunya tidak menjadi
sebuah negara yang berdiri sendiri ?
Pertanyaan orang – orang Eropa itu mungkin akan terdengar aneh di
telinga kita sebagai orang Indonesia namun pernahkah kita sadari kenapa
Pulau – pulau di Nusanatara ini bisa bersatu dan menjadi sebuah negara
bernama Indonesia? Apakah hanya karena sama – sama di jajah oleh
Belanda?
Hal tersebut sangat erat kaitannya dengan Konsepsi manusia benua dan
manusia kepulauan. Perbedaan konsepsi antara manusia benua dan manusia
kepulauanlah yang kelak akan sedikit banyak membentuk karakter dasar
bagi banyak ras di dunia.
Apa itu manusia benua ?
Leluhur manusia yaitu homo sapiens sudah sejak lama mendiami bumi ini
sejak 500.000 tahun yang lalu. Mereka bermigrasi dan beradaptasi dengan
lingkungan sekitar mereka dan lambat laun berevolusi baik karakter,
bentuk fisik dan budaya.
Selama ratusan ribu tahun manusia secara bertahap namun pasti
bermigrasi keberbagai tempat diseluruh dunia. Meraka hidup berpindah –
pindah dan berjalan ribuan kilometer mencari tempat untuk bernaung.
Lambat laun mereka mulai mengenal bercocok tanam dan akhirnya mendirikan
sebuah pemukiman. Manusia mulai mengembangkan pertanian dan peternakan
serta akhirnya terciptalah struktur dan organisasi masyarakat. Dengan
adanya konsep pemukiman maka kehidupan menjadi lebih terorganisir dan
menjadi lebih stabil.
Dampak dari munculnya konsep pemukiman adalah perkembangan populasi
manusia dan inilah yang mengakibatkan munculnya permasalahan pemenuhan
kebutuhan hidup komunitas dalam sebuah pemukiman. Manusia mulai
mempeluas lahan pertanian dan peternakan dan konsekuensinya adalah
manusia pun harus memperluas wilayah pemukimannya seiring dengan
bertambahnya populasi dan kebutuhan akan lahan pertanian dan peternakan.
Perluasan lahan untuk mempertahankan keberadaan suatu komunitas
menjadi suatu keharusan sebagai naluri bertahan hidup. Sebagai
konsekuensi dari perluasan tersebut adalah manusia pun juag harus mulai
berpikir untuk mempertahankan wilayahnya. Manusia mulai membangun
teritorial dan batas wilayah. Manusia mulai menyadari bahwa diri mereka
dikelilingi berbagai ancaman yang akan berpengaruh terhadap eksistensi
mereka seperti binatang buas, bencana alam dan manusia dari luar
komunitas.
Mulai dari membuat pagar hingga membangun benteng pun dilakukan
manusia. Manusia pun mulai belajar untuk mempertahankan dirinya dengan
menciptakan berbagai alat yang juga dapat melindungi diri mereka dari
berbagai bahaya yang akan mengancam keselamatan mereka. Kondisi inilah
yang akhirnya membentuk karakter manusia yang agresif dan survival.
Manusia mulai berusaha untuk menjaga semua sumber daya alam yang mereka
miliki sebagai sebuah cara untuk bertahan hidup. Namun keberadaan sumber
daya alam yang semakin menipis dan ditambah populasi yang kian
bertambah maka memicu manusia untuk mencari sumber daya alam baru
kewilayah yang jauh dari teritorialnya. Dan inilah yang pada
akhirnyamembuat manusia dengan manusia lain yang berbeda teritorial
mulai berinteraksi dan manusia pun mulai melakukan pertukaran atau
barter. Namun terkadang konsep pertukaran tidak selamanya berjalan
dengan baik, keterdesakan atas pemenuhan kebutuhan hidup juga memancing
agresifitas manusia sehingga manusia melakukan ekspansi besar – besaran
yang kerap harus menimbulkan konflik dengan komunitas lain. Ada yang
berusaha mempertahankan dan ada yang berusaha mengambil dan begitu
seterusnya.
Sejarah membuktikan dari benua Afrika, Eropa, Amerika dan Asia
senantiasa dihiasi dengan perang dan perluasan kekuasaan. Inilah
karakter dasar bangsa – bangsa yang dihuni oleh manusia – manusia benua.
Konsep motherland yang dibentuk oleh manusia benua menjadikan tanah
yang mereka pijak menjadi hal yang paling berharga dan akan selalu
dipertahankan. Konsep motherland inilah yang mendasari pembentukan
koloni – koloni manusia, manusia hidup dalam lingkaran koloni dan
mempertahankan koloni mereka. Maka tidaklah mengherankan bila kita
melihat mengapa di Benua Eropa yang sama – sama berasal dari ras
kaukasoid terkotak – kotakan dalam bingkai negara – negara berbeda.
Demikian di Afrika yang merupakan ras negroid pun terkotakan dalam
berbagai negara. Negeri – negeri yang berperang demi sumber daya alam
seperti air, makanan dan energi adalah imbas dari konsepsi motherland
milik manusia benua. Sikap feodalistik, agresif dan survival menjadi
cerminan dari pola pikir manusia benua.
Mungkin kita bisa mengambil contoh diwilayah timur tengah yang
merupakan tempat tumbuh, berkembang dan jatuh bangunnya banyak peradaban
kuno seperti Mesopotamia, Persia, Sumeria dan Babilonia. Wilayah timur
tengah yang sangat panas dan dikelilingi padang pasir dengan
keterbatasan sumber daya air menjadikan wilayah tersebut maka perebutan
akan sumber daya air tersebut adalah hal yang tidak akan dapat
dihindakan dan inilah merupakan konsekuensi dari paham motherland milik
manusia benua.
Konsepsi motherland dari manusia benua inilah yang di era modern
mengilhami konsep Lebensraum yang menyamakan bahwa negara adalah sebuah
organisme hidup yang membutuhkan ruang hidup untuk berkembang dan
bertahan hidup. Alhasil berbagai peperangan yang mengakibatkan
kehancuran suatu peradaban semua adalah akibat dari konsep motherland
dari manusia – manusia benua.
Lantas bagaimanakah dengan Konsepsi Manusia Kepulauan ?
Dalam kurun waktu ratusan ribu tahun beberapa kelompok homo sapien
bermigrasi dan mulai menyeberangi deerah – deerah perairan. Kelompok
homo sapien ini mulai mengembangkan berbagai alat untuk mengarungi
daerah perairan. Pada awalnya mereka hanya membuat peralatan yang
membantu mereka mengarungi sungai dan rawa namun lambat laun mereka
mulai mengembangkan berbagai alat untuk membantu mereka mengarungi
lautan. Mereka mulai melakukan penjelahan dari pulau satu ke pulau yang
lain. Mereka menetap dan membangun komunitas disebuah pulau kemudian
sebagian yang lain meneruskan penjelajahan mencari pulau yang lain dan
begitu seterusnya. Mereka hidup dari laut dan sebagian besar hidup
mereka dihabiskan dilaut. Laut yang luas membuat mereka tidak perlu
saling berebut untuk mendapatkan hasil laut, manusia – manusia pelaut
ini mampu mengarungi luasnya samudera sehingga mereka tidak pernah
merasa kekurangan. Tantangan di laut sangat berbeda dengan di darat,
manusia – manusia pelaut ini paham betul akan bahaya yang akan mereka
hadapi bila laut sedang tidak bersahabat dengan mereka. Mereka pun harus
mencari pulau untuk berlabuh sejenak menunggu hingga badai berlalu.
Keadaan alam seperti inilah yang membuat mereka harus mengembangkan
sikap sopan dan menghormati manusia lain di pulau tersebut. Mereka paham
bahwa mereka harus menjaga sikap saat mendatangi sebuah pulau karena
hal tersebut sangatlah penting agar mereka bisa diizinkan untuk menetap
sementara waktu. Adab – adab seperti ini menjadi hal yang berlaku umum
bagi masyarakat pelaut kala itu. Selain menetap terkadang mereka juga
menjalin hubungan kekerabatan melalui pernikahan dan perdagangan. Di
lain pihak masyarakat kepulauan pun juga berusaha mengembangkan
pemukiman mereka untuk disinggahi para pelaut dari pulau yang lain
karena mereka sangat tergantung dengan barang dagangan yang dibawa oleh
pelaut dari pulau lain. Dengan demikian sikap terbuka dan ramah menjadi
karakter dasar manusia kepulauan. Laut membuat mereka tidak mengkotakan
diri mereka karena laut sangat luas dan seolah tak berbatas. Dengan
membangun hubungan antar pulau yang harmonis maka mereka pun merasakan
sebuah interaksi tanpa batas sekat dan cenderung sangat cair.
Tidak banyak contoh peradaban manusia kepulauan di dunia ini namun nusantara tercinta kita adalah salah satu contoh nyata.
Zaman es terakhir memicu peningkatan permukaan laut yang sangat
drastis. Tergenangnya paparan sunda dan paparan sahul menjadikan kawasan
nusantara terpisah menjadi gugusan pulau yang kita kenal sekarang.
Namun terpisahnya mereka dengan kerabat mereka yang kini jauh diseberang
lautan tidak menyurutkan keinginan mereka untuk tetap mengunjungi
kerabat mereka yang kini sudah terpisah oleh laut. Melalui kemampuan
bahari yang luar biasa nenek moyang kita mengembangkan sebuah jaringan
antar pulau. Inilah yang sekarang disebut istilah laut yang menyatukan
dan bukan laut yang memisahkan. Daratan yang kini telah tenggelam dan
daratan yang kini muncul akibat perubahan permukaan bumi, memunculkan
istilah Tanah – Air, istilah ini sangat berbeda dengan istilah
Motherland, Istilah Tanah – Air merupakan istilah asli dari masyarakat
kepulauan di nusantara. Masyarakat nusantara tidak pernah mengenal
istilah Motherland dan membangun koloni, masyarakat nusantara adalah
masyarakat pesisir dan bahari yang sebagian besar hidupnya di habiskan
di samudera tanpa batas.
Kedatangan masyarakat manusia benua ke wilayah kepulauan nusantara
seperti China, India, Eropa, Arab dan lain – lain yang memiliki paham
dan konsep manusia benua telah mengubah banyak sendi – sendi konsep
manusia kepulauan. Pengaruh – pengaruh tersebut yang membawa nusantara
memasuki masa feodal ala manusia benua. Kehidupan yang berdasarkan
aturan budaya masyarakat manusia benua meresap jauh ke dalam diri
sanubari masyarakat kepulauan dalam kurun waktu ratusan tahun lambat
laun sifat manusia kepulauan di nusantara pun berubah menjadi seperti
sifat manusia benua. Ironis sekali bahwa pada kenyataannya kemajuan
peradaban dan munculnya berbagai kerajaan besar di nusantara akibat
pengaruh budaya masyarakat benua ternyata juga memunculkan sifat feodal,
agresif dan survival yang notabene adalah karakter dari manusia –
manusia benua. Maka tidaklah mengherankan kalau sejak zaman dahulu
kerajaan – kerajaan besar selalu berperang padahal mereka adalah satu
nenek moyang yang memiliki tradisi manusia kepulauan yang terbuka, ramah
dan sopan dan cenderung menghindari konflik serta jauh dari kesan
agresif. Pengaruh dari paham manusia benua terus berlanjut hingga kini,
sisa penjajahan Belanda yang juga merupakan hasil dari konsep manusia
benua masih membekas pada diri sanubari bangsa yang mendiami gugusan
pulau – pulau di nusantara.
Bila kita kembali memahami akar kita sebagai manusia bahari dan
manusia kepulauan tentunya hal –hal anarkis tidak akan terjadi di negeri
yang tercinta ini karena pada dasarnya itu bukan karakter asli bangsa
Indonesia. Itu adalah dogma yang dibawa oleh manusia –manusia benua dari
luar gugusan pulau nusantara ini. Mereka para manusia benua telah
menjadikan kita mengikuti prilaku yang juga mereka lakukan di tanah
leluhur mereka yang mereka sebut motherland itu. Jiwa – jiwa
ekspansionis, perusak dan feodal telah ditularkan kepada kita dalam
kurun ratusan tahun lamanya.
Namun sangat disayangkan bahwasanya generasi penerus bangsa ini tidak
pernah tahu seperti apa nenek moyang mereka. Saat masa jaya swargantara
yang jauh sebelum adanya nusantara tidak ada beda antara busana raja
dan busana rakyat, sang raja juga ikut menggarap sawah bersama rakyat,
tidak ada benteng yang tinggi, tidak ada tembok pembatas yang dibangun,
itulah ajaran dari Prabu Sindhu, seorang raja yang menurunkan seluruh
raja di nusantara. Seorang raja yang membangun karakter bangsa nusantara
pada 13.000 SM untuk menghargai sesama dan setelah masa Swargantara
berakhir karena naiknya air laut dan memisahkan pulau – pulau di
Nusantara. Sikap menghargai itu diteruskan oleh masyarakat di nusantara
untuk membangun jaringan antar pulau.
Masyarakat kepulauan lebih terbuka menerima hal baru daripada
masyarakat benua yang cenderung tertutup. Masyarakat kepulauan lebih
menghindari konflik daripada masyarakat benua yang cenderung agresif.
Demikianlah bahwasanya kita yang kini bernama orang Indonesia yang
mendiami gugusan pulau – pulau di wilayah nusantara sesungguhnya
bukanlah bangsa yang anarkis dan menyukai konflik. Pengaruh negatif dari
paham manusia benua lah yang membuat bangsa ini mengenal istilah “
perang” karena perang adalah hal yang lumrah dan biasa dilakukan oleh
manusia benua di tanah leluhur mereka dan bukan di tanah – air kita.
Aryo Tohjoyo ( Dari berbagai sumber )
No comments:
Post a Comment