Tuesday, May 20, 2014

ANTARA SURGA, JANNAH, DAN NIRWANA

PERBANDINGAN KONSEPSI TENTANG NIRWANA DAN SURGA ( Seri Kajian Sejarah Alternatif )

Sebuah kajian singkat ajaran agama kuno “ Surayana” agama yang ada sebelum Hindu, Budha, Islam, Kristen, Paganisme Yunani, Romawi, Serta Agama –agama yang dianut oleh Mesir Kuno dan Mesopotamia berkembang di bumi ini.
Ajaran surayana diperkirakan berkembang sekitar 30.000 SM – 15.000 SM  dan di bawa oleh Prabu Shindu raja dari kerajaan Buana Atalan yang sekarang bernama Banten dan di anut oleh para Karuhun Nusantara kita.
Dalam kajian ini kita akan membahas salah satu topic mengenai Nirwana.
Saat ini banyak salah kaprah orang – orang yang memahami Nirwana sebagai sebuah Surga. Padahal makna dari Nirwana agak berbeda secara konsepsi kalau di bandingkan dengan Surga. Kata Surga di Indonesia merupakan terjemahan dari Kata “ Jannah “ pada Bahasa Arab. Yang kalau kita perhatikan dalam kitab suci Qur’an adalah sebuah tempat hidup yang penuh kesenangan dan kenyaman setelah kematian. Dan sering di ceritakan bahwa banyak sungai – sungai mengalir di bawahnya, dengan bidadari serta bermacam – macam keindahan yang kelak akan dinikmati oleh penghuninya secara abadi dan kekal.
Nah, lantas apa sesungguhnya Nirwana? Sebelum kita membahas lebih lanjut marilah kita telisik lebih dahulu keadaan wilayah nusantara sekitar 30.000 SM – 15.000 SM adalah sebuah tempat yang sangat subur, air melimpah ruah, sejuk, hujan dan panas silih berganti, tanaman apapun dapat tumbuh dengan mudah, darat dan lautnya kaya dan sebagainya. Dengan demikian hidup senang dan nyaman dikelilingi air melimpah ruah dan tanah subur dan makmur sudah menjadi bagian dari keseharian para karuhun nusantara kala itu, sehingga para karuhun nusantara kemudian mencari tahap pemikiran selanjutnya yaitu membangun “ Hidup  Terhormat “ . Mengapa? Karena mereka telah mendapat kan semua kenikmatan dan kemakmuran tersebut di dunia. Dan apa itu “ Hidup Terhormat “ ? adalah sebuah konsepsi yang dikenal dengan konsepsi Su – Raga atau Suraga yaitu konsepsi dimana Raga adalah cerminan dari kehormatan, diri kita adalah sebuah kehormatan.
Untuk mencapai Su – Raga maka seseorang harus mencapai kehidupan Nir – Wana ( Nir – Tidak, Wana = Hutan Belantara ) yaitu segala hal tentang hal ikhwal duniawi. Sehingga memang pada akhirnya para karuhun nusantara tidak lagi mencari kehidupan yang nyaman dan bersenang – senang   selamanya setelah mati melainkan mencari hidup terhormat selamanya. Bagi para karuhun nusantara , terhormat, kehormatan, penghormatan, hormat adalah sikap dan sifat yang dijunjung tinggi hingga siapapun pelakunya dapat menjadi panutan (contoh nyata) yang dapat dibuktikan langsung. Artinya, bagi siapapun yang ingin terhormat dan dihormati maka diharuskan membuktikan keterhormatan itu secara nyata dalam kehidupan sehari-hari sebab 'Su - Raga adalah CERMIN yang tidak dapat terkelabui.

Disinilah terjadi perbedaan konsepsi antara Jannah , Surga dan Nirwana. Dalam konsepsi Jannah, ada sebuah pengertian tentang sebuah tempat yang dijanjikan, sebuah tempat yang indah dan penuh kenyamanan. Mengapa? Kemungkinan adalah karena lahirnya konsepsi Jannah pada waktu itu pertama kali muncul di sebuah tempat yang gersang, tandus dan keras sehingga sulit sekali bagi manusia – manusia di tempat itu seperti Jazirah arab sekitarnya untuk menemukan keindahan dan kenikmatan seperti yang di dapatkan oleh para karuhun nusantara  di bumi nusantara. Oleh sebab itu konsepsi agama – agama monoteis yang berasal dari Timur Tengah ( Islam, Nasrani, dan Yahudi ) dan agama – agama kuno yang pernah berkembang di Timur Tengah seperti Majusi di Persia lebih kurang memiliki beberapa persamaan tentang konsepsi tentang kehidupan penuh kenyaman dan kenikmatan selamanya setelah mati.
Mungkin inilah mengapa dalam Islam ada yang disebut sebagai Mati Syahid sebagai Syuhada. Artinya inilah penggambaran akan kehormatan dan hidup terhormat selamanya dalam Islam. Konsepsi syahid inilah yang mampu melampaui konsepsi segala bentuk kenikmatan dan kenyamanan hidup selamanya setelah mati.
Demikianlah ulasan ini saya buat agar kita dapat lebih memahami cita – cita para leluhur nusantara yang telah meletakan pondasi dan sendi kehidupan di bumi nusantara ini yang pada kenyataannya telah di lupakan oleh banyak dari kita bangsa Indonesia yang hingga sekarang tidak pernah paham akan akar  dan asal – usulnya yang berusia lebih tua dari peradaban Mesir Kuno dan Mesopotamia. Akar asli kita apapun agama kita adalah di akar nusantara yaitu akar yang menjadi raga sebagai cerminan dari kehormatan diri.
Bangsa Iran, China, Jerman adalah beberapa bangsa yang paham tentang akarnya. Bangsa Iran paham akan akar mereka dari Persia, Bangsa China paham akan Akar Bangsa Han nya , Bangsa Jerman paham akan akar bangsa Celtic nya dan bangsa – bangsa tersebut sangat kuat dan maju karena mereka sangat kuat Identitasnya dan sangat mengenal diri mereka sendiri.

Benar kata Bung Karno “ Jangan Melupakan Sejarah “ dan “ Bangsa Yang Besar Adalah Bangsa Yang Menghargai Jasa Pahlawannya “ . Bagi saya para Karuhun nusantara adalah pahlawan bagi peradaban di nusantara yang sering kita lupakan karena  tanpa jasa mereka, maka tidak akan ada peradaban tinggi di nusantara ini dan mungkin kita masih tinggal di gua – gua.

MERDEKA TIDAK SAMA DENGAN KEBEBASAN, MERDEKA TIDAK SAMA DENGAN FREEDOM !!!!!

Selama ini kita dikatakan telah merdeka sekitar 65 tahun sejak proklamasi 17 Agustus 1945. Namun apakah bangsa ini sudah benar - benar paham apa arti dari " Merdeka"  itu ?. Kenapa para pendahulu kita memilih kata " Merdeka " bukan " Bebas " atau " Lepas " atau kata yang lain ? Apa makna dibalik kata " Merdeka " itu ? Kenapa sampai bangsa kita rela mengorbankan segalanya demi kata " Merdeka " itu ?

Kata " Merdeka " selalu dikaitkan dengan kata kebebasan, lepas dari belengu atau ikatan dan dipadankan dengan kata " Freedom " dalam bahasa Inggris. Alhasil banyak kesalah pahaman terjadi atas nama kemerdekaan itu sendiri. Kemerdekaan yang senantiasa dipadankan dengan kata kebebasan seolah menjadi tanpa batas, menjadi " segala boleh " apa pun boleh " atau " kebablasan ". Sehingga seperti terlihat " tanpa aturan " bebas dari aturan " dsb.

Namun benarkah Merdeka itu sama dengan kebebasan ? Setelah saya membaca berbagai artikel maka saya melihat suatu hal yang menarik. Kata Merdeka sesungguhnya punya arti yang sangat Adhiluhung atau memiliki nilai - nilai luhur yang sangat jauh dari makna kebebasan itu sendiri.

Merdeka diambil dari bahasa sansekerta " Mahardhika " yang berarti sesuatu yang berkenaan dengan keilmuan, kebijakasanaan, kepandaian, kecerdasan. Juga dapat diartikan sebagai budi pekerti luhur dan dapat diartikan juga sebagai hal ikhwal kebangsaan, kenegarawanan.

Bila demikian maka Mahardhika merupakan sebuah peristilahan untuk mewakili sebuah tatanan peradaban yang berlandasan pada keilmuan dan kebijaksanaan yang tinggi, budi dan akhlak yang luhur dan dipimpin oleh manusia yang sangat paham akan kebangsaan dan kenegaraan.

Lantas bila arti dari Mahardhika adalah seperti itu maka adalah hal yang logis apabila kala itu para pendahulu kita dan para founding Father kita rela berkorban jiwa dan raga untuk meraih cita - cita menuju bangsa yang " Mahardhika " dan langkah pertama yang harus ditempuh adalah menjadi bangsa yang berdaulat penuh terlebih dahulu. Dan untuk itu maka bangsa ini harus terlepas dari segala bentuk penjajahan dari bangsa lain dengan kata lain mengusir penjajah kala itu adalah sebuah langkah awal saja untuk menempuh sebuah jalan panjang menuju bangsa yang " Mahardhika ".

Bila kita melihat kondisi dan realitas yang terjadi di negeri ini, maka patutlah kita bertanya - tanya dalam diri kita masing - masing, apakah bangsa kita sudah benar - benar " Merdeka " ? 

NUSANTARA LAMA - SEBUAH PERADABAN TINGGI SEBELUM MASA PIRAMID MESIR

Jauh sebelum masa piramid sekitar 30.000 tahun sebelum masehi di wilayah nusantara terdapat sebuah peradaban yang kelak akan menjadi cikal bakal konsep negara di seluruh dunia. Namun hal perlu dicatat di sini adalah bahwa segala uraian dibawah ini masih perlu kajian yang lebih dalam lagi.

Catatan : Wilayah Indonesia tidak pernah  terkena Zaman Es dan berada di titik lintasan Gunung Berapi dan berada di wilayah lintasan Matahari ( khatulistiwa ) sehingga sangat mungkin untuk mengembangkan peradaban maju dalam kurun 30.0000 – 12.0000 tahun SM  

Sebuah tempat yang dahulu bernama Buana Ataan atau Buana Atalan ( versi Plato, kata Atalan inilah yang mungkin di yakini sebagai Atalantis/ Atlantis  ) yang sekarang bernama Banten ( Bu – Ataan /Bu – Ateun / Bu – an – teun ) telah ada sebuah peradaban tinggi yang memiliki ajaran Sundayana ( Sun = Matahari, Yana = Ajaran ) yang dahulu bersumber dan di tetapkan di Tanah Su – Mate –Ra tepatnya di  Tanah Mandala Hyang ( Mandailing ) di daerah di Sumatera Utara yang masyarakatnya disebut sebagai Batakara ( Batak Karo ). Masyarakat yang berkiblat pada matahari yang di wujudkan dalam konsep “Su = Api, Ra = Matahari “ yang ajarannya bernama Surayana. Mereka memiliki Gunung Suci yaitu Gunung Batara Guru ( Gunung Toba ) . Batara Guru ( Bata – Ra ) Guru = yang mengajarkan tentang “ Ra “. Dengan Dewa Batara Durga ( Batara Surya ).

Ajaran Surayana ini berkembang seiring dengan perubahan geologis pulau Sumatera akibat letusan Gunung Toba ( 70.000 SM ) dan ajaran tersebut mulai  dikembang lagi  di Tanah Sunda dengan gunung karakatwa ( Gunung Kara – Katwa / karakatwa / krakatau ) dengan nama Sundayana ( Sura berganti dengan Sunda ) oleh karena itu Plato menyebut daerah Gunung Krakatau berada sebagai Sundhalan atau Paparan Sundha yang terletak di wilayah Buana Atalan. Namun intinya ajaran “ Ra “ tetap tidak berubah sehingga Plato menyebutnya sebagai orang – orang Sunda artinya Orang – orang pengikut ajaran Sundayana dan kata Sundayana ini oleh bangsa barat disebut “ Sunday “ yang mataharinya disebut “ Sun “.   Namun kata Sunda memiliki kaitan erat dengan matahari itu sendiri ( Sunda/ Sunada/ Su = Sejati, Na = Api, Da = Gede/ Besar / Agung atau dengan kata lain Api Sejati Yang Agung yaitu Matahari )
Pada masa keemasan Sundha inilah katakan era keemasan Dirganta-Ra ( Dirga = Durga = Surya = Su = Api, Ra = Matahari ) atau zaman Dirgantara yaitu sebuah era yang menjadikan api sebagai sumber kehidupan ( Dirgantara = Wilayah Api Kehidupan Yang Bercahaya ). Dengan demikian kala itu (30.000 – 12.000 SM ) bangsa Sundha telah mampu memanfaatkan api untuk berbagai keperluan hidup dan membangun peradaban tinggi.

Setelah Gunung Krakatau meletus dan diikuti oleh perubahan iklim yang ekstrim sehingga berakibat terputusnya Sumatera dan Jawa yang menjadi penanda berakhirnya Zaman Es terakhir. Tenggelamnya Paparan Sunda dan menjadikan wilayah Indonesia tertutup oleh lautan. Keadaan tersebut akhirnya membuat peradaban Sundha bergeser ke tempat yang disebut Lembah Hyang         ( Hyang = Dewa ) yang sekarang dinamakan Lembang dengan Gunungnya yang disebut Tangkuban Parahu  ( Tangkuban = Naungan. Pa = Tempat,  Ra =Matahari,   Hu / Huang/ Hyang = Leluhur). Terkadang daerah ini juga disebut Tatar Parahyangan ( Pa = Tempat,  Ra = Matahari, Hyang = Leluhur atau tempat leluhur bangsa matahari .  Di tanah yang sekarang kita kenal sebagai Jawa Barat inilah konsep cikal bakal sistem kenegaraan pertama dimuka bumi berawal. Dengan konsep “ Salaka Domas “ dan “ Salaka Nagara “ . Era munculnya konsep tentang negara dinamai sebagai zaman Swargantara ( Swarga = Kemandirian, Wilayah Kehidupan Mandiri yang bercahaya ) Konsep Swargantara inilah yang mengharuskan bahwa sebuah negara haruslah mandiri dan berdaulat  sehingga tidak tergantung dengan bangsa asing.

Sistem kenegaraan tersebut berupa sistem keratuan/ Keratoan/ Keraton dimana makna Ratu tidak sama dengan Queen tapi setara dengan Rajya ( Raja dalam bahasa India ). Pada awal berdirinya keratuan ini dipimpin oleh Sang Hyang Watu Gunung Ratu Agung Manik Maya dan diteruskan oleh Maha Ratu Resi Prabu Sindhu La – Hyang ( Bapak dari Da – Hyang Su – Umbi = Dayang Sumbi ) dan kelak akan diteruskan oleh Dinasti Warman ( Mulawarman ) dan Prabu Tarumanagara dan Da – Hyang Su – Umbi ( Da = Agung, Hyang = Leluhur, Su = Api, Umbi = Penuntun ). Di zaman Swargantara inilah Konsep Kujang muncul sebagai sebuah Simbol Api.

Ajaran Sundayana ini berkembang ke seluruh  dunia di era Prabu Sindhu La – Hyang. Oleh orang – orang Jepang Prabu Sindhu dikenal dengan sebutan Shinto yang cikal bakal ajaran Matahari ditetapkan di Su – Mate – Ra . Sedang di Jepang kata Su – Mate – Ra menjadi A – Mate – Ra – Su yang berarti Dewa Matahari.  Di Cina konsep ajaran dari Prabu Sindhu La – Hyang dikenal sebagai ajaran La – Hyang yang oleh orang – orang Cina disebut ajaran Li – Hong atau Liong ( Naga dan Ra ). Ajaran Matahari Prabu Sindhu  juga menyebar hingga ke India yang saat itu bernama Jambudwipa dan dikenal dengan nama ajaran Sindhu yang kelak menjadi ajaran Hindu di Tanah India. Selain itu ajaran Matahari Prabu Sindhu  juga menyebar di Mesir yang dikenal dengan ajaran Ra = Matahari dengan Dewa yang bernama Dewa Ra = Dewa Matahari.

Konsep Ajaran Matahari Sundayana / Surayana adalah konsep ajaran Budhi Pekerti dan Ketata – Negaraan yang kelak menjadi cikal bakal agama – agama kuno  dan konsep kerajaan di seluruh peradaban kuno di dunia.

Meletusnya Gunung Tangkuban Perahu membuat pusat pemerintahan Sundha beralih ke Gunung Brahma ( Bromo = Api ) dengan dua gerbang besar Gunung Sindoro ( Sunda – Ra ) dan Gunung Sumbing ( Su – Umbi – Hyang ) dengan pelatarannya terletak di Dieng ( Da – Hyang ) dan Gunung Semeru ( Su – Meru ) sebagai pusat kerajaan Sundha. Di zaman inilah era keemasan ajaran Shindu – Sundhayana mencapai masa keemasan dengan konsep Salaka Domas dan Salaka Nagaranya. Era ini dikenal sebagai zaman Dwipantara. ( Dwipantara = Wilayah Kehidupan Cahaya Kembar ). Konsep Dwipantara atau Cahaya Kembar inilah yang diterjemahkan dalam ajaran Salaka Domas dan Salaka Nagara.
Konsep Salaka Domas dan Salaka Nagara merupakan sebuah konsep dwi – tunggal yang tak terpisahkan. Salaka Domas yang berarti  Konsep Api simbol dari Matahari sebagai api sejati yang merupakan perwujudan dari Batara Durga / Batara Surya. Matahari sebagai api sejati yang senantiasa memberi cahaya bagi semua makhluk bumi. Konsep memberi tanpa berharap kembali adalah inti konsep Salaka Domas.  Kemudian Konsep Salaka Nagara yang berarti konsep Air simbol dari Samudera sebagai air sejati merupakan perwujudan dari Dewa Air / Naga yang melingkupi air pemberi kesuburan dan kehidupan bagi makhluk bumi. Konsep air merupakan konsep penerimaan atau simbol kepasrahan yang juga simbol kerendahan hati dan merupakan inti konsep Salaka Nagara.

Konsep Salaka Nagara ( Naga = Air, Ra = Matahari ) yang mengandung arti air dan matahari, sebuah simbol kekuatan yang dahsyat bila menguasainya. Dengan demikian melalui kedua konsep ( Salaka Domas dan Salaka Nagara ) dimulailah era maritim. DI masa Dwipantara inilah muncul istilah Dwiwaruna ( Dwi = Dua, Waruna = Lautan ) yang merujuk pada Samudera Hindia dan Samudera Pasifik.  Kemudian konsep matahari dan air juga dilambangkan dengan simbol warna merah = matahari dan simbol warna putih = air. Konsep inilah yang dikenal dengan konsep Dwi Varna ( Merah – Putih, Matahari – Air, Ra – Naga atau Naga – Ra / Negara ). Konsep kenegaraan bagi masyarakat peradaban Sundha kala itu bukan sekedar negara atau country yang kita kenal sekarang tapi lebih jauh lagi adalah merupakan konsep tentang keselarasan hidup antara manusia dengan alam, manusia dengan manusia, dan manusia dengan Tuhan. Pada era Dwipantara inilah keris mulai muncul sebagai simbol dari air yang juga melambangkan naga. Sehingga Kujang sebagai simbol api dan Keris sebagai simbol air kala itu bersanding sebagai lambang dari Keratuan Sundhayana dan kala itu juga pengembangan teknologi penjelajahan samudera dimulai.

Meletusnya Gunung Bromo membuat peradaban Sundha bergeser ke Gunung Agung di Bali, itulah sebabnya Pulau Jawa disebut sebagai Sunda Besar dan Bali disebut sebagai Sunda Kecil pada peta nusantara tua. Pada masa ini ajaran Sundhayana semakin berkembang pesat dan dikenal dengan kata Udayana ( Sundayana ).

Peradaban Sundha berakhir dengan ditetapkannya Gunung Tambora ( Tambo –Ra ) di Pulau Sumbawa ( Su – Ma – Bawa / Su – Bawa ) sebagai keratuan terakhir peradaban Sundhayana yang dipimpin oleh Maha Resi Prabhu Tarus Bawa. Dengan berakhirnya peradaban Sundhayana maka berakhir pula era Swargantara dan beralih ke era Nusantara. Perlu diketahui bahwa era Swargantara disebut sebagai era Banjaran Nagara atau mulai berkembangnya kerajaan – kerajaan kecil yang kelak akan menjadi kerajaan besar nan melegenda.

Berakhirnya era Swargantara dan memasuki era Nusantara ( Nusantara = Wilayah Kehidupan Manusa Cahaya )  artinya Manusa = Manusia yang bercahaya. Manusia yang mengibarkan simbol – simbol Ra  atau Matahari. Panji – Panji Matahari atau Panji – Panji Ra ( Bende – Ra ) sebagai lambang Nagara yang disimbolkan dengan Bendera Merah Putih ( Bende = Panji = , Ra = Matahari,  Merah = Simbol Api, Putih = Simbol Air ). Di era inilah Keris yang merupakan simbol air lebih sering digunakan daripada Kujang.  Keturunan Prabu Sindhu menyebar dan membangun kerajaan dan dinasti di berbagai pulau di Nusantara. Di antaranya Dinasti Warman ( Mulawarman ) yang mendirikan Kerajaan Kutai di Kalimantan dan Tarumanagara di Jawa Barat. Kemudian silih berganti muncul Kerajaan – Kerajaan besar seperti Sriwijaya, Pajajaran, Singosari, Majapahit dsb. Di era Nusantara inilah pengaruh asing seperti Hindu, Budha dan Islam mulai masuk dan memang kala itu wilayah Nusantara merupakan wilayah perdagangan laut yang telah berkembang pesat sejak masa sebelum Nusantara.

Setelah kedatangan Bangsa barat ke Wilayah Nusantara dan membawa perubahan yang sangat besar bagi kehidupan masyarakat di Nusantara terutama sendi – sendi kehidupan bermasyarakat yang mendapat pengaruh paham modernisme barat.  Era kedatangan bangsa eropa menjadi penanda akhir era Nusantara dan dimulailah era Indonesia.
Era Indonesia diawali dengan berbagai perubahan mendasar dengan mulai runtuhnya berbagai Kerajaan – kerajaan di Nusantara. Perkembangan paham ketata – negaraan modern versi barat pun turut mempengaruhi konsep ketata – negaraan Indoensia. Pada tanggal 17 Agustus 1945 merupakan penanda berdirinya negara baru yaitu Indonesia dengan konsep Republik ( Re – Publik ) yaitu direbutnya kekuasaan raja oleh rakyat sehingga kedaulatan suatu negara berada ditangan rakyat. Kata rakyat ( Ra – Hayat / Ra = Matahari, Hayat = Hidup ) artinya matahari yang hidup, yakni masyarakat Indonesia yang merupakan keturunan dari pendiri peradaban Sundhayana yang telah mewarisi ajaran Matahari dalam hati masing – masing orang Indonesia.

Banyak hal yang masih harus di kaji lebih dalam lagi namun sejarah mengenai kehidupan masyarakat primitif di Indonesia memang perlu di kaji ulang mengingat uraian tersebut di atas. Bahwa masyarakat yang ada di Indonesia sudah sangat maju dalam berbagai hal. Terbukti dengan adanya konsep – konsep  kenegaraan dan ajaran agama dimana kemunculan konsepsi ini menandakan bahwa masyarakat Indoensia di masa 30.000 tahun SM bukanlah masyarakat primitif yang tinggal di gua – gua dan hidup berburu serta mengumpulkan makanan tetapi masyarakat yang mampu mengembangkan peradaban yang juga mampu mengubah peradaban lain di dunia.

Beberapa Fakta temuan arkeologi mengenai Situs Gunung Padang di Cianjur Jawa Barat yang merupakan temuan mutakhir saat ini memperkirakan adanya bangunan piramid yang tertimbun di dalam Gunung Padang. Dan bila terbukti benar maka ini adalah piramid yang sangat besar melebihi pramid Giza di Mesir. Adapun usianya jauh lebih tua dari Piramid yang ada di Mesir yakni 6000 tahun SM. Pada masa itu di wilayah Jawa Barat sudah ada peradaban yang sanggup membangun bangunan megah melampui era megalitikum kala itu. Bila di bandingkan dengan Mesir yang baru memulai peradaban sekitar 4000 tahun SM, peradaban di Jawa Barat ini sudah memulai terlebih dahulu.

Pertanyaannya adalah seberapa besar dan digdayanya bangsa kita saat itu ? apakah kita masih perlu meyakini sejarah yang mengatakan bahwa bangsa Indoensia kala itu adalah primitif, tinggal di gua dan hidup dengan berburu serta belum mengenal tulisan kemudian datang pengaruh Hindu dan Budha kemudian bangsa kita baru bisa beradab ?

Berbagai Konsep, Ajaran dan Simbol merupakan suatu hal yang tidak mudah diciptakan dalam waktu singkat. Manusia harus melalui berbagai tahapan dan proses penghayatan sehingga intisari tersebut dapat tertuang secara sistematis dalam bentuk simbol dan tulisan. Mungkinkah hal tersebut bisa dilakukan kalau saat itu bangsa kita masih primitif ?

Tulisan ini sekedar memberi perspektif lain tentang sejarah alternatif yang mungkin bisa sedikit mengangkat derajat bangsa yang kini terkenal dengan bangsa terkorup nomor 1 dunia.

KONSEPSI MANUSIA BENUA DAN MANUSIA KEPULAUAN SERTA PENGARUHNYA TERHADAP PEMBENTUKAN KARAKTER SEBUAH BANGSA

Sejenak kalau kita mengamati gugusan pulau – pulau di Indonesia maka kita akan melihat pulau – pulau baik kecil dan besar bertebaran. Banyak orang –orang Eropa berpikiran mengapa Pulau – pulau yang ada di wilayah Indonesia dengan keragaman budaya yang ada ditiap pulaunya tidak menjadi sebuah negara yang berdiri sendiri ?
Pertanyaan orang – orang Eropa itu mungkin akan terdengar aneh di telinga kita sebagai orang Indonesia namun pernahkah kita sadari kenapa Pulau – pulau di Nusanatara ini bisa bersatu dan menjadi sebuah negara bernama Indonesia? Apakah hanya karena sama – sama di jajah oleh Belanda?
Hal tersebut sangat erat kaitannya dengan Konsepsi manusia benua dan manusia kepulauan. Perbedaan konsepsi antara manusia benua dan manusia kepulauanlah yang kelak akan sedikit banyak membentuk karakter dasar bagi banyak ras di dunia.
Apa itu manusia benua ?
Leluhur manusia yaitu homo sapiens sudah sejak lama mendiami bumi ini sejak 500.000 tahun yang lalu. Mereka bermigrasi dan beradaptasi dengan lingkungan sekitar mereka dan lambat laun berevolusi baik karakter, bentuk fisik dan budaya.
Selama ratusan ribu tahun manusia secara bertahap namun pasti bermigrasi keberbagai tempat diseluruh dunia. Meraka hidup berpindah – pindah dan berjalan ribuan kilometer mencari tempat untuk bernaung. Lambat laun mereka mulai mengenal bercocok tanam dan akhirnya mendirikan sebuah pemukiman. Manusia mulai mengembangkan pertanian dan peternakan serta akhirnya terciptalah struktur dan organisasi masyarakat.  Dengan adanya konsep pemukiman maka kehidupan menjadi lebih terorganisir dan menjadi lebih stabil.
Dampak dari munculnya konsep pemukiman adalah perkembangan populasi manusia dan inilah yang mengakibatkan munculnya permasalahan pemenuhan kebutuhan hidup komunitas dalam sebuah pemukiman. Manusia mulai mempeluas lahan pertanian dan peternakan dan konsekuensinya adalah manusia pun harus memperluas wilayah pemukimannya seiring dengan bertambahnya populasi dan kebutuhan akan lahan pertanian dan peternakan.
Perluasan lahan untuk mempertahankan keberadaan suatu komunitas menjadi suatu keharusan sebagai naluri bertahan hidup. Sebagai konsekuensi dari perluasan tersebut adalah manusia pun juag harus mulai berpikir untuk mempertahankan wilayahnya. Manusia mulai membangun teritorial dan batas wilayah. Manusia mulai menyadari bahwa diri mereka dikelilingi berbagai ancaman yang akan berpengaruh terhadap eksistensi mereka seperti binatang buas, bencana alam dan manusia dari luar komunitas.
Mulai dari membuat pagar hingga membangun benteng pun dilakukan manusia. Manusia pun mulai belajar untuk mempertahankan dirinya dengan menciptakan berbagai alat yang juga dapat melindungi diri mereka dari berbagai bahaya yang akan mengancam keselamatan mereka. Kondisi inilah yang akhirnya membentuk karakter manusia yang agresif dan survival. Manusia mulai berusaha untuk menjaga semua sumber daya alam yang mereka miliki sebagai sebuah cara untuk bertahan hidup. Namun keberadaan sumber daya alam yang semakin menipis dan ditambah populasi yang kian bertambah maka memicu manusia untuk mencari sumber daya alam baru kewilayah yang jauh dari teritorialnya. Dan inilah yang pada akhirnyamembuat manusia  dengan manusia lain yang berbeda teritorial mulai berinteraksi dan manusia pun mulai melakukan pertukaran atau barter. Namun terkadang konsep pertukaran tidak selamanya berjalan dengan baik, keterdesakan atas pemenuhan kebutuhan hidup juga memancing agresifitas manusia sehingga manusia melakukan ekspansi besar – besaran yang kerap harus menimbulkan konflik dengan komunitas lain. Ada yang berusaha mempertahankan dan ada yang berusaha mengambil dan begitu seterusnya.
Sejarah membuktikan dari benua Afrika, Eropa, Amerika dan Asia senantiasa dihiasi dengan perang dan perluasan kekuasaan. Inilah karakter dasar bangsa – bangsa yang dihuni oleh manusia – manusia benua. Konsep motherland yang dibentuk oleh manusia benua menjadikan tanah yang mereka pijak menjadi hal yang paling berharga dan akan selalu dipertahankan. Konsep motherland inilah yang mendasari pembentukan koloni – koloni manusia, manusia hidup dalam lingkaran koloni dan mempertahankan koloni mereka. Maka tidaklah mengherankan bila kita melihat mengapa di Benua Eropa yang sama – sama berasal dari ras kaukasoid terkotak – kotakan dalam bingkai negara – negara berbeda. Demikian di Afrika yang merupakan ras negroid pun terkotakan dalam berbagai negara. Negeri – negeri yang berperang demi sumber daya alam seperti air, makanan dan energi adalah imbas dari konsepsi motherland milik manusia benua. Sikap feodalistik, agresif dan survival menjadi cerminan dari pola pikir manusia benua.
Mungkin kita bisa mengambil contoh diwilayah timur tengah yang merupakan tempat tumbuh, berkembang dan jatuh bangunnya banyak peradaban kuno seperti Mesopotamia, Persia, Sumeria dan Babilonia. Wilayah timur tengah yang sangat panas dan dikelilingi padang pasir dengan keterbatasan sumber daya air menjadikan wilayah tersebut maka perebutan akan sumber daya air tersebut adalah hal yang tidak akan dapat dihindakan dan inilah merupakan konsekuensi dari paham motherland milik manusia benua.
Konsepsi motherland dari manusia benua inilah yang di era modern mengilhami konsep Lebensraum yang menyamakan bahwa negara adalah sebuah organisme hidup yang membutuhkan ruang hidup untuk berkembang dan bertahan hidup. Alhasil berbagai peperangan yang mengakibatkan kehancuran suatu peradaban semua adalah akibat dari konsep motherland dari manusia – manusia benua.
Lantas bagaimanakah dengan Konsepsi Manusia Kepulauan ?
Dalam kurun waktu ratusan ribu tahun beberapa kelompok homo sapien bermigrasi dan mulai menyeberangi deerah – deerah perairan. Kelompok homo sapien ini mulai mengembangkan berbagai alat untuk mengarungi daerah perairan. Pada awalnya mereka hanya membuat peralatan yang membantu mereka mengarungi sungai dan rawa namun lambat laun mereka mulai mengembangkan berbagai alat untuk membantu mereka mengarungi lautan. Mereka mulai melakukan penjelahan dari pulau satu ke pulau yang lain. Mereka menetap dan membangun komunitas disebuah pulau kemudian sebagian yang lain meneruskan penjelajahan mencari pulau yang lain dan begitu seterusnya. Mereka hidup dari laut dan sebagian besar hidup mereka dihabiskan dilaut. Laut yang luas membuat mereka tidak perlu saling berebut untuk mendapatkan hasil laut, manusia – manusia pelaut ini mampu mengarungi luasnya samudera sehingga mereka tidak pernah merasa kekurangan. Tantangan di laut sangat berbeda dengan di darat, manusia – manusia pelaut ini paham betul akan bahaya yang akan mereka hadapi bila laut sedang tidak bersahabat dengan mereka. Mereka pun harus mencari pulau untuk berlabuh sejenak menunggu hingga badai berlalu. Keadaan alam seperti inilah yang membuat mereka harus mengembangkan sikap sopan dan menghormati manusia lain di pulau tersebut. Mereka paham bahwa mereka harus menjaga sikap saat mendatangi sebuah pulau karena hal tersebut sangatlah penting agar mereka bisa diizinkan untuk menetap sementara waktu. Adab – adab seperti ini menjadi hal yang berlaku umum bagi masyarakat pelaut kala itu. Selain menetap terkadang mereka juga menjalin hubungan kekerabatan melalui pernikahan dan perdagangan. Di lain pihak masyarakat kepulauan pun juga berusaha mengembangkan pemukiman mereka untuk disinggahi para pelaut dari pulau yang lain karena mereka sangat tergantung dengan barang dagangan yang dibawa oleh pelaut dari pulau lain. Dengan demikian sikap terbuka dan ramah menjadi karakter dasar manusia kepulauan. Laut membuat mereka tidak mengkotakan diri mereka karena laut sangat luas dan seolah tak berbatas. Dengan membangun hubungan antar pulau yang harmonis maka mereka pun merasakan sebuah interaksi tanpa batas sekat dan cenderung sangat cair.
Tidak banyak contoh peradaban manusia kepulauan di dunia ini namun nusantara tercinta kita adalah salah satu contoh nyata.
Zaman es terakhir memicu peningkatan permukaan laut yang sangat drastis. Tergenangnya paparan sunda dan paparan sahul menjadikan kawasan nusantara terpisah menjadi gugusan pulau yang kita kenal sekarang. Namun terpisahnya mereka dengan kerabat mereka yang kini jauh diseberang lautan tidak menyurutkan keinginan mereka untuk tetap mengunjungi kerabat mereka yang kini sudah terpisah oleh laut. Melalui kemampuan bahari yang luar biasa nenek moyang kita mengembangkan sebuah jaringan antar pulau. Inilah yang sekarang disebut istilah laut yang menyatukan dan bukan laut yang memisahkan. Daratan yang kini telah tenggelam dan daratan yang kini muncul akibat perubahan permukaan bumi, memunculkan istilah Tanah – Air, istilah ini sangat berbeda dengan istilah Motherland, Istilah Tanah – Air merupakan istilah asli dari masyarakat kepulauan di nusantara. Masyarakat nusantara tidak pernah mengenal istilah Motherland dan membangun koloni, masyarakat nusantara adalah masyarakat pesisir dan bahari yang sebagian besar hidupnya di habiskan di samudera tanpa batas.
Kedatangan masyarakat manusia benua ke wilayah kepulauan nusantara seperti China, India, Eropa, Arab dan lain – lain yang memiliki paham dan konsep manusia benua telah mengubah banyak sendi – sendi konsep manusia kepulauan. Pengaruh – pengaruh tersebut yang membawa nusantara memasuki masa feodal ala manusia benua. Kehidupan yang berdasarkan aturan budaya  masyarakat manusia benua meresap jauh ke dalam diri sanubari masyarakat kepulauan dalam kurun waktu ratusan tahun lambat laun sifat manusia kepulauan di nusantara pun berubah menjadi seperti sifat manusia benua. Ironis sekali bahwa pada kenyataannya kemajuan peradaban dan munculnya berbagai kerajaan besar di nusantara akibat pengaruh budaya masyarakat benua ternyata juga memunculkan sifat feodal, agresif dan survival yang notabene adalah karakter dari manusia – manusia benua. Maka tidaklah mengherankan kalau sejak zaman dahulu kerajaan – kerajaan besar selalu berperang padahal mereka adalah satu nenek moyang yang memiliki tradisi manusia kepulauan yang terbuka, ramah dan sopan dan cenderung menghindari konflik serta jauh dari kesan agresif. Pengaruh dari paham manusia benua terus berlanjut hingga kini, sisa penjajahan Belanda yang juga merupakan hasil dari konsep manusia benua masih membekas pada diri sanubari bangsa yang mendiami gugusan pulau – pulau di nusantara.
Bila kita kembali memahami akar kita sebagai manusia bahari dan manusia kepulauan tentunya hal –hal anarkis tidak akan terjadi di negeri yang tercinta ini karena pada dasarnya itu bukan karakter asli bangsa Indonesia. Itu adalah dogma yang dibawa oleh manusia –manusia benua dari luar gugusan pulau nusantara ini. Mereka para manusia benua telah menjadikan kita mengikuti prilaku yang juga mereka lakukan di tanah leluhur mereka yang mereka sebut motherland itu. Jiwa – jiwa ekspansionis, perusak dan feodal telah ditularkan kepada kita dalam kurun ratusan tahun lamanya.
Namun sangat disayangkan bahwasanya generasi penerus bangsa ini tidak pernah tahu seperti apa nenek moyang mereka. Saat masa jaya swargantara yang jauh sebelum adanya nusantara tidak ada beda antara busana raja dan busana rakyat, sang raja juga ikut menggarap sawah bersama rakyat, tidak ada benteng yang tinggi, tidak ada tembok pembatas yang dibangun, itulah ajaran dari Prabu Sindhu, seorang raja yang menurunkan seluruh raja di nusantara. Seorang raja yang membangun karakter bangsa nusantara pada 13.000 SM untuk menghargai sesama dan setelah masa Swargantara berakhir karena naiknya air laut dan memisahkan pulau – pulau di Nusantara. Sikap menghargai itu diteruskan oleh masyarakat di nusantara untuk membangun jaringan antar pulau.
Masyarakat kepulauan lebih terbuka menerima hal baru daripada masyarakat benua yang cenderung tertutup. Masyarakat kepulauan lebih menghindari konflik daripada masyarakat benua yang cenderung agresif.
Demikianlah bahwasanya kita yang kini bernama orang Indonesia yang mendiami gugusan pulau – pulau di wilayah nusantara sesungguhnya bukanlah bangsa yang anarkis dan menyukai konflik. Pengaruh negatif dari paham manusia benua lah yang membuat bangsa ini mengenal istilah “ perang” karena perang adalah hal yang lumrah dan biasa dilakukan oleh manusia benua di tanah leluhur mereka dan bukan di tanah – air kita.
Aryo Tohjoyo ( Dari berbagai sumber )